Jakarta – Polemik pemberitaan kasus korupsi satelit Kementerian Pertahanan kembali memanas. Kuasa hukum Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Leonardi, MSc., melalui kantor hukum Lazzaro Law Firm, melayangkan surat resmi hak jawab kepada Dewan Pers terkait tayangan KompasTV program ROSI tanggal 15 Mei 2025 yang dinilai merugikan nama baik kliennya.
Dalam surat bernomor 022/LLF/VII/2025 bertanggal 30 Juli 2025, kuasa hukum yang diwakili Rinto Maha, S.H., M.H. menyebut pemberitaan tersebut tidak berimbang, penuh insinuasi, dan melanggar asas praduga tak bersalah. “Keterangan yang disampaikan dalam wawancara justru membangun opini publik yang sesat serta mencemarkan nama baik klien kami,” tegas Rinto.
Pernyataan yang dipersoalkan muncul saat pewawancara Rosiana Silalahi menyebut nama Leonardi terkait kasus satelit, yang kemudian ditanggapi Mahfud MD dengan sejumlah klaim mengenai barang pengadaan yang disebut “palsu”, “tidak bernilai”, hingga “dibeli di pasar Senen”. Kuasa hukum menegaskan, semua klaim tersebut tidak pernah tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP Nomor PE.03.03/SR-607/D5/02/2022.
“Laporan resmi BPKP tidak menyebut adanya barang palsu, fiktif, ataupun markup luar biasa sebagaimana yang disampaikan Mahfud MD. Pernyataan itu jelas menyesatkan,” bunyi surat tersebut.
Rinto juga menekankan bahwa hingga saat ini Kementerian Pertahanan tidak pernah membayarkan satu rupiah pun kepada Navayo International AG, perusahaan asal Liechtenstein yang menjadi rekanan. Karena itu, tuduhan kerugian negara ratusan miliar dianggap tidak berdasar hukum. “Potensi kerugian bukanlah kerugian nyata sebagaimana disyaratkan undang-undang,” ujarnya.
Selain mengkritisi narasi Mahfud MD, tim kuasa hukum menuding pemberitaan KompasTV melanggar Kode Etik Jurnalistik dan Pasal 5 ayat (3) UU Pers yang melarang pers melakukan penghakiman dalam pemberitaan. Mereka menilai framing yang muncul merupakan bentuk pembunuhan karakter yang berpotensi menyesatkan masyarakat.
Dalam surat itu, Lazzaro Law Firm juga menjelaskan bahwa Leonardi, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), hanya menjalankan perintah atasan sesuai Permenhan No. 17 Tahun 2014. Ia tidak berwenang menentukan kebijakan maupun menggunakan anggaran. Bahkan, pada awal 2017, Leonardi disebut telah mengirim surat kepada Navayo untuk menghentikan pengiriman barang karena struktur kontrak belum lengkap.
“Fakta ini membuktikan tidak ada niat memperkaya diri sendiri atau menyalahgunakan wewenang. Menjadikan klien kami sebagai tersangka justru merupakan bentuk kriminalisasi dan menjadikannya tumbal politik,” tegas Rinto. Saat wawancara dengan awak media baru-baru ini.
Melalui hak jawab tersebut, pihak kuasa hukum meminta KompasTV memuat klarifikasi sesuai ketentuan UU Pers, demi meluruskan opini publik yang telanjur terbentuk. (Red 01)















































