Pendahuluan
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia), yang didirikan pada Februari 2025, memiliki mandat strategis untuk mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) guna mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebagai sovereign wealth fund pertama di Indonesia, Danantara mengelola dividen BUMN yang ditaksir mencapai Rp114 triliun pada 2025, menjadikannya entitas kunci dalam transformasi ekonomi nasional. Namun, peran strategis ini menempatkan Danantara di bawah sorotan publik yang kritis, terutama terkait transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik.
Kritik baru-baru ini menyoroti potensi pemborosan anggaran dan pelanggaran prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011. Program pelatihan ini direncanakan dalam tiga angkatan dengan total 120 peserta direksi, yang semakin memperbesar skala pengeluaran dan memerlukan pengawasan ketat untuk memastikan efisiensi.
Pada 20–24 Agustus 2025, Danantara mengirim 36 direksi dari 29 BUMN untuk mengikuti Top Gun Leadership Camp Cohort 1 di IMD Business School, Lausanne, Swiss. Program ini, bagian dari Top Talent Program 2025, merupakan kolaborasi dengan International Institute for Management Development (IMD), sekolah bisnis ternama dunia.
Tujuannya adalah memperkuat kapasitas kepemimpinan global para eksekutif BUMN melalui modul seperti strategic foresight, growth strategy, ambidextrous leadership, dan project-based learning. Meskipun diinisiasi dengan niat mulia, keputusan ini memicu polemik yang memperlebar ketidakpercayaan publik terhadap tata kelola BUMN di bawah Danantara, termasuk kritik dari anggota Komisi VI DPR RI tentang kurangnya sense of crisis di tengah tekanan ekonomi global dan pelemahan rupiah.
Namun, beberapa tokoh masyarakat, seperti pemimpin muda Nahdlatul Ulama, mendukung program ini sebagai langkah positif untuk meningkatkan kompetensi global. Artikel ini menganalisis isu tersebut dari perspektif manajemen pemerintahan, dengan mengintegrasikan teori public value, tata kelola yang baik (good governance), dan legitimasi organisasi, serta memberikan rekomendasi untuk memitigasi dampak negatifnya.
Paradoks Kebijakan: Investasi SDM atau Pemborosan Publik?
Sebagai akademisi di bidang manajemen pemerintahan, saya memandang bahwa kebijakan pengiriman direksi ke Swiss mencerminkan paradoks dalam pengelolaan sumber daya publik. CEO Danantara, Rosan Roeslani, menegaskan bahwa program ini merupakan investasi strategis untuk mentransformasi sumber daya manusia BUMN agar kompetitif di pasar global, dengan dukungan akomodasi bagi persero menengah dan kecil untuk memastikan pemerataan akses. Modul pelatihan yang dirancang oleh IMD relevan untuk membekali direksi dengan kemampuan strategis, seperti perencanaan jangka panjang dan kepemimpinan adaptif. Danantara juga menunjukkan komitmen pemerataan dengan mendanai pelatihan bagi persero menengah dan kecil yang memiliki keterbatasan anggaran, sebuah langkah yang sejalan dengan prinsip pengembangan kapasitas dalam manajemen pemerintahan modern dan didukung oleh sebagian kalangan sebagai upaya membangun kepemimpinan berkelas dunia.
Namun, pengiriman 36 direksi ke Swiss, dengan implikasi biaya signifikan—termasuk proyeksi untuk 120 peserta di tiga angkatan—memunculkan pertanyaan tentang efisiensi dan prioritas penggunaan anggaran publik, di mana kritik menyebutnya sebagai pemborosan yang bertentangan dengan kebijakan efisiensi pemerintah. Dalam konteks manajemen pemerintahan, kebijakan publik harus diuji dengan tiga pilar utama: transparansi, akuntabilitas dan kepekaan terhadap persepsi masyarakat. Pilihan menyelenggarakan pelatihan di luar negeri, ketimbang memanfaatkan institusi lokal seperti Universitas Indonesia,Institut Teknologi Bandung atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri mengundang skeptisisme. Apakah keputusan ini didasarkan pada keunggulan komparatif IMD Swiss, atau mencerminkan kecenderungan elitis yang kerap dikritik dalam pengelolaan BUMN? Kurangnya penjelasan rinci tentang anggaran dan kriteria pemilihan peserta memperkuat persepsi bahwa Danantara kurang sensitif terhadap ekspektasi publik, terutama ketika dividen BUMN yang dikelola diperkirakan mencapai Rp114 triliun pada 2025, yang seharusnya diprioritaskan untuk investasi domestik.
Konteks Krisis Kepercayaan Publik
Ketidakpercayaan publik terhadap retret ini diperparah oleh konteks waktu pelaksanaannya. Indonesia tengah berada pada fase transisi menuju target pertumbuhan ekonomi 8%, di tengah tantangan ekonomi global seperti volatilitas pasar dan pelemahan rupiah. Publik mengharapkan BUMN, sebagai pilar ekonomi nasional, fokus pada efisiensi operasional dan kontribusi nyata, seperti peningkatan layanan publik atau investasi infrastruktur strategis. Retret ke Swiss, meski dikemas sebagai investasi SDM, sulit diterima sebagai prioritas ketika banyak BUMN masih bergulat dengan isu tata kelola, seperti manipulasi laporan keuangan atau ketidakefisienan operasional, sebagaimana disoroti anggota Komisi VI DPR RI. Data prospek ekonomi menunjukkan bahwa target kontribusi BUMN hingga US$50 miliar (sekitar Rp809 triliun) ke penerimaan negara pada 2025 memerlukan pengawasan ketat untuk mencegah kebocoran, sehingga pengeluaran besar untuk pelatihan di luar negeri dianggap kurang tepat waktu.
Sebagai contoh, pada 2019, pelatihan eksekutif BUMN di luar negeri juga memicu kritik publik karena dianggap tidak sejalan dengan kebutuhan domestik. Polemik ini menunjukkan bahwa kepekaan terhadap konteks sosial-ekonomi adalah elemen krusial dalam pengambilan kebijakan publik. Tanpa komunikasi efektif dan transparansi anggaran, kebijakan yang awalnya strategis dapat dipandang sebagai pemborosan, terutama dengan kritik baru yang menyoroti pelanggaran GCG dan kurangnya efisiensi.
Analisis Berbasis Teori
Untuk memahami mengapa retret direksi Danantara ke Swiss memicu ketidakpercayaan publik yang semakin dalam, analisis ini mengintegrasikan kerangka teoretis utama dari manajemen pemerintahan, dimulai dari teori public value yang dikembangkan oleh Mark H. Moore dalam bukunya Creating Public Value: Strategic Management in Government (1995, Harvard University Press). Moore menegaskan bahwa organisasi publik seperti Danantara diharapkan menciptakan nilai yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat melalui kebijakan yang tidak hanya menghasilkan output internal seperti peningkatan kapasitas kepemimpinan 36 direksi dari 29 BUMN, tetapi juga kontribusi nyata terhadap kesejahteraan publik.
Program pelatihan di IMD Business School Lausanne ini melibatkan biaya tinggi yang belum transparan, meskipun Danantara memberikan dukungan akomodasi bagi persero menengah dan kecil untuk pemerataan akses. Data dari laporan ekonomi menunjukkan bahwa dividen BUMN yang dikelola Danantara diperkirakan mencapai Rp114 triliun pada 2025, yang seharusnya diprioritaskan untuk investasi domestik daripada pengeluaran luar negeri yang dianggap kurang relevan di tengah target pertumbuhan ekonomi nasional 8% di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Klaim dividen BUMN bisa mencapai Rp300 triliun dinilai tidak realistis oleh pengamat karena berpotensi membebani belanja modal dan memperburuk pelemahan rupiah yang sedang melanda. Retret ini gagal memenuhi ekspektasi public value karena publik memandangnya sebagai pemborosan yang tidak selaras dengan kebutuhan mendesak seperti peningkatan efisiensi operasional BUMN atau dukungan terhadap UMKM.
Selanjutnya, prinsip tata kelola yang baik atau good governance, sebagaimana diuraikan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dalam laporan Governance for Sustainable Human Development (1997), menekankan pentingnya akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dalam pengelolaan sumber daya publik. Danantara sebagai sovereign wealth fund yang baru berdiri pada Februari 2025 gagal memenuhi standar ini karena kurangnya keterbukaan rincian anggaran pelatihan Top Gun Leadership Camp Cohort 1 yang berlangsung dari 20 hingga 24 Agustus 2025, termasuk biaya akomodasi dan perjalanan yang didukung untuk memastikan pemerataan. Kritik dari anggota Komisi VI DPR RI menyoroti isu manipulasi laporan keuangan di beberapa BUMN, dan data prospek ekonomi menunjukkan bahwa target kontribusi BUMN hingga US$50 miliar (sekitar Rp809 triliun) ke penerimaan negara pada 2025 memerlukan pengawasan ketat untuk mencegah kebocoran. Minimnya partisipasi pemangku kepentingan dalam keputusan retret ini memperkuat persepsi bahwa Danantara beroperasi secara tertutup dan kurang akuntabel, terutama ketika program ini dikritik sebagai kurangnya sense of crisis di tengah tekanan ekonomi global yang menyebabkan pelemahan rupiah dan tantangan domestik seperti volatilitas pasar.
Akhirnya, teori legitimasi organisasi yang dikemukakan oleh Mark C. Suchman dalam artikelnya Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approaches (Academy of Management Review, 1995, Vol. 20, No. 3), menyatakan bahwa legitimasi institusi bergantung pada kesesuaian tindakannya dengan norma dan nilai sosial masyarakat. Retret ke Swiss dianggap tidak selaras dengan nilai hemat dan prioritas nasional karena dilaksanakan di tengah fase transisi ekonomi di mana pemerintah Prabowo menargetkan rasio penerimaan negara naik dari 12,1% menjadi 18% seperti Kamboja untuk mendukung pertumbuhan 8%. Mayoritas BUMN justru mengalami kerugian yang mempersulit pencapaian target tersebut, dan kritik publik yang meluas, seperti yang tercermin dalam berbagai pemberitaan tentang ketidakpercayaan terhadap kebijakan elitis ini, menunjukkan bahwa Danantara kehilangan legitimasi karena tidak melibatkan komunikasi yang efektif untuk menjelaskan manfaat jangka panjang pelatihan, seperti peningkatan daya saing BUMN di tingkat regional. Respons rasional masyarakat terhadap ketidaksesuaian ini semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan, terutama ketika data menunjukkan bahwa kebijakan serupa di masa lalu juga memicu polemik serupa tanpa perbaikan tata kelola yang signifikan.
Implikasi terhadap Kinerja BUMN dan Perekonomian
Ketidakpercayaan publik terhadap Danantara memiliki implikasi serius terhadap kinerja BUMN dan perekonomian nasional. Kepercayaan publik adalah modal sosial yang krusial bagi BUMN untuk menjalankan mandatnya sebagai penggerak ekonomi. Ketika publik memandang Danantara sebagai entitas yang boros atau elitis, dukungan terhadap kebijakan BUMN lainnya, seperti ekspansi investasi atau restrukturisasi, dapat melemah. Polemik ini juga dapat mempengaruhi moral dan motivasi internal direksi BUMN, yang mungkin merasa dikritik secara tidak adil atas partisipasi mereka dalam program pelatihan. Dalam konteks target pertumbuhan ekonomi 8%, ketidakpercayaan publik dapat menghambat kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta, yang saling bergantung untuk mencapai visi ekonomi nasional, terutama ketika target kontribusi BUMN mencapai US$50 miliar ke penerimaan negara memerlukan efisiensi maksimal.
Sebagai perbandingan, pada 2018, pelatihan eksekutif di sektor publik Singapura melalui Civil Service College menunjukkan bahwa transparansi dan komunikasi publik yang kuat dapat memitigasi kritik. Singapura menerbitkan laporan terbuka tentang manfaat pelatihan dan indikator keberhasilannya, sehingga publik merasa dilibatkan. Pendekatan ini patut dipertimbangkan oleh Danantara, terutama dengan adanya suara dukungan dari tokoh masyarakat yang melihat program ini sebagai kesempatan belajar dari institusi kelas dunia seperti IMD.
Rekomendasi Berbasis Teori
Berdasarkan kerangka teoretis di atas, Danantara perlu mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif polemik ini. Sesuai prinsip tata kelola yang baik, Danantara harus mempublikasikan rincian anggaran pelatihan, termasuk biaya per peserta, kriteria pemilihan, dan indikator keberhasilan, yang diakses publik melalui situs resmi atau disampaikan melalui DPR. Laporan ini dapat mencakup metrik seperti peningkatan kinerja BUMN pasca-pelatihan atau kontribusi peserta terhadap proyek strategis, untuk membuktikan bahwa program ini bukan pemborosan. Untuk menciptakan public value, Danantara harus mengembangkan program pelatihan serupa di Indonesia dengan melibatkan universitas ternama seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung atau Institut Pemerintahan Dalam Negeri, yang tidak hanya lebih hemat tetapi juga memperkuat ekosistem pendidikan nasional dan meningkatkan persepsi publik tentang inklusivitas. Program pelatihan kepemimpinan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) telah terbukti efektif dalam membekali pejabat publik para seperti Bupati dan walikota dengan keterampilan strategis, dan dapat menjadi model. Untuk memulihkan legitimasi, Danantara perlu memperkuat komunikasi publik melalui kampanye yang menjelaskan manfaat jangka panjang pelatihan, seperti peningkatan daya saing BUMN di pasar global, menggunakan media sosial, konferensi pers, dan laporan tahunan untuk menyampaikan hasil konkret, seperti studi kasus keberhasilan peserta pelatihan dalam memimpin transformasi BUMN, sambil merespons kritik dengan data transparan. Danantara juga harus menetapkan kerangka evaluasi yang jelas untuk mengukur dampak pelatihan, seperti Key Performance Indicators (KPI) berbasis kinerja BUMN atau survei kepuasan pemangku kepentingan, yang dipublikasikan untuk menunjukkan komitmen terhadap transparansi, akuntabilitas dan memenuhi prinsip good governance, serta mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk keseimbangan.
Penutup
Keberhasilan Danantara sebagai pengelola aset negara tidak hanya diukur dari kemampuan menghasilkan pemimpin berkelas dunia, tetapi juga dari kapasitasnya membangun kepercayaan publik melalui tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada nilai publik. Retret ke Swiss, meskipun memiliki niat strategis dan dukungan dari sebagian kalangan, menunjukkan bahwa tanpa kepekaan terhadap konteks sosial-ekonomi, upaya transformasi dapat memperlebar ketidakpercayaan publik. Dengan menerapkan prinsip public value, tata kelola yang baik, dan strategi legitimasi organisasi, Danantara dapat memitigasi polemik ini dan memperkuat posisinya sebagai pilar transformasi ekonomi nasional, terutama di tengah target ambisius pemerintahan saat ini.













































