Gelombang demonstrasi besar-besaran yang melanda Indonesia dari 25–31 Agustus 2025 masih menyisakan bara. Lima jiwa melayang, ratusan orang terluka, dan kerugian materiil mencapai ratusan miliar rupiah. Semua bermula dari isu tunjangan rumah mewah Rp 50 juta per bulan bagi anggota DPR, yang dianggap publik sebagai bentuk arogansi wakil rakyat di tengah ketimpangan ekonomi. Redaksi Majalah Nasional News berkesempatan mewawancarai KH. As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN sekaligus tokoh nasional, di kediamannya di Bekasi, 31/9/25.
Redaksi:
Kiai, bagaimana Anda melihat akar utama demonstrasi besar 25–31 Agustus lalu yang berujung rusuh di banyak kota?
KH. As’ad Said Ali:
Demo itu bukan sekadar soal tunjangan rumah Rp 50 juta bagi anggota DPR. Itu hanyalah pemicu. Akar terdalamnya adalah akumulasi ketidakpuasan rakyat terhadap arogansi segelintir elit, ketimpangan ekonomi yang makin terasa, serta himpitan hidup sehari-hari masyarakat bawah. Rakyat marah bukan hanya karena jumlahnya fantastis, tapi karena simbol ketidakadilan di tengah penderitaan mereka. Apalagi ketika ada tindakan aparat yang brutal hingga menewaskan Affan Kurniawan, seorang driver ojek online muda. Itu luka yang menambah api di dada rakyat.
Redaksi:
Artinya, kasus Affan menjadi titik balik emosional di jalanan?
KH. As’ad:
Betul. Affan itu simbol. Anak muda, tulang punggung keluarga, yang gugur di jalan karena aparat bertindak berlebihan. Bagi rakyat kecil, peristiwa itu menegaskan bahwa hukum dan aparat tidak berpihak. Ini bahaya sekali karena bisa mengikis legitimasi negara.
Redaksi:
Sejumlah catatan menyebut kerusakan cukup parah: gedung DPRD terbakar di Makassar, halte Transjakarta rusak, pusat perbelanjaan ditutup, bahkan indeks saham dan rupiah ikut tertekan. Bagaimana pandangan Anda?
KH. As’ad:
Kerusakan itu konsekuensi ketika aspirasi tidak didengar dan rasa keadilan diabaikan. Saya prihatin karena negara harus menanggung beban ekonomi yang besar. Tapi lebih besar lagi adalah kerusakan sosial: hilangnya kepercayaan rakyat. Ketika demokrasi hanya melahirkan kemewahan bagi segelintir elit dan penderitaan bagi mayoritas, yang runtuh bukan hanya halte, tapi juga wibawa negara.
Redaksi:
Apa pesan Anda bagi para pejabat—eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—dari krisis ini?
KH. As’ad:
Saya hanya ingin mengingatkan, jangan melukai rasa keadilan rakyat. Negara ini bisa hancur bukan karena musuh luar, tapi karena pengkhianatan dalam bentuk keserakahan dan ketidakpekaan elitnya. Para pejabat harus introspeksi diri. Ingat, jabatan itu amanah, bukan privilese. Kalau elit masih memamerkan arogansi di saat rakyat susah, rakyat pasti akan melawan.
Redaksi:
Bagaimana seharusnya jalan keluar? Apakah cukup dengan pencabutan sementara tunjangan rumah DPR?
KH. As’ad:
Itu hanya solusi teknis, sementara. Yang dibutuhkan adalah reformasi etika politik. DPR, pemerintah, dan lembaga hukum harus duduk bersama menyusun kode etik yang mengikat soal gaya hidup, penghasilan, dan prioritas kebijakan. Jangan ada lagi kebijakan yang menyakiti hati rakyat. Pendidikan politik juga penting, agar masyarakat memilih wakil yang punya integritas, bukan sekadar popularitas.
Redaksi:
Apakah Anda optimis pasca-Agustus 2025 bangsa ini bisa pulih?
KH. As’ad:
Saya selalu optimis. Bangsa ini punya daya tahan yang luar biasa. Tapi syaratnya, elit harus mau rendah hati dan kembali mendengar suara rakyat. Kalau tidak, bara ini bisa muncul lagi dengan skala lebih besar. Demokrasi harus dibenahi, bukan hanya prosedurnya, tapi juga keadilannya.
Redaksi:
Suara KH. As’ad Said Ali mengingatkan bahwa gelombang protes Agustus 2025 bukan sekadar peristiwa politik, tetapi sebuah peringatan moral. Ketika rakyat merasa keadilan dilukai, ketika jurang ketimpangan kian menganga, maka api kemarahan bisa meledak kapan saja. Pertemuan di rumah sederhana di Bekasi itu seakan menegaskan satu hal: bangsa ini hanya bisa selamat bila elitnya berani bercermin, menahan diri, dan mengembalikan politik pada hakikatnya—sebagai jalan pelayanan, bukan kemewahan















































