Suasana ruang sidang Majelis Umum PBB di New York hening sejenak ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium biru berlogo PBB. Setelah sepuluh tahun absen, akhirnya Indonesia kembali bersuara di forum tertinggi dunia. Pidato yang berlangsung hampir 20 menit itu bukan hanya pernyataan diplomatik, tetapi juga membawa semangat sejarah panjang bangsa Indonesia yang pernah merasakan pahitnya penjajahan.
Pidato tersebut mendapat banyak perhatian, terutama ketika Prabowo menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap Palestina dengan menawarkan solusi dua negara. Untuk memahami makna dan dampaknya, Majalah NasionalNews mewawancarai KH. As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN yang lama mengamati politik Timur Tengah sekaligus tokoh Nahdlatul Ulama. Berikut petikan wawancara eksklusifnya.
Pidato Prabowo di PBB
Wartawan NasionalNews (W):
Kiai Haji, Presiden Prabowo baru saja berpidato di Sidang Umum PBB setelah sepuluh tahun Indonesia absen. Apa pandangan Anda tentang pidato beliau, khususnya soal Palestina dan Gaza?
KH. As’ad Said Ali (A):
Saya menilai pidato Presiden Prabowo itu sangat tepat dan strategis dalam memposisikan Indonesia di tengah konflik Gaza. Beliau dengan jelas menolak logika kekuatan militer sebagai dasar kebenaran, dan itu penting. Indonesia memiliki sejarah panjang dijajah selama ratusan tahun, jadi kita tahu persis arti dari ketidakadilan.
Lebih dari itu, sikap beliau mengulangi komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara (two-state solution) adalah konsisten dengan politik luar negeri kita sejak era Bung Karno. Dan saya kira, ketika Prabowo menyatakan siap mengirim 20 ribu pasukan perdamaian Indonesia melalui PBB, itu menunjukkan keseriusan sekaligus memberi pesan moral bahwa Indonesia tidak hanya bicara, tapi juga siap berkontribusi nyata.
Dampak Pidato Bagi Palestina
W:
Menurut Anda, apakah seruan Prabowo di PBB bisa memberi dampak konkret terhadap penyelesaian konflik Gaza–Palestina?
A:
Dampak langsung tentu tidak bisa diharapkan seketika, karena ini konflik panjang yang melibatkan kepentingan besar negara-negara dunia. Namun, pidato itu punya dua arti penting. Pertama, mempertegas posisi Indonesia di forum global sebagai negara yang konsisten membela kemerdekaan Palestina. Kedua, membuka jalan bagi Indonesia untuk lebih aktif mengambil peran sebagai mediator.
Kita tahu, mayoritas negara anggota PBB mendukung Palestina merdeka, bahkan banyak negara pemegang hak veto seperti Rusia dan Tiongkok cenderung mendukung. Masalahnya, ketika Amerika Serikat menggunakan hak vetonya, resolusi otomatis gagal. Itu yang selalu menjadi kebuntuan di Dewan Keamanan. Tapi, dengan suara-suara moral seperti dari Indonesia, tekanan internasional bisa makin besar, sehingga Amerika pun lambat laun harus menimbang ulang sikapnya.
Solusi Dua Negara
W:
Bagaimana Anda melihat relevansi gagasan solusi dua negara yang ditawarkan Prabowo?
A:
Itu jalan yang paling realistis. Sejak dulu, banyak tawaran alternatif—ada yang bicara negara federasi, ada yang bicara solusi satu negara dengan hak setara bagi warga Yahudi dan Arab. Tapi faktanya, yang paling masuk akal adalah solusi dua negara. Palestina harus punya wilayah yang jelas, termasuk Gaza sebagai bagian integral dari negara Palestina. Dan Israel juga harus mendapat jaminan keamanan.
Masalah terbesar memang di lapangan. Wilayah Palestina terus menyempit akibat permukiman ilegal Israel. Jalur Gaza masih terkepung. Tepi Barat juga terfragmentasi. Maka, sebelum bicara rekonsiliasi besar, hal pertama yang harus dijamin adalah kejelasan wilayah. Gaza tidak boleh diperlakukan sebagai entitas terpisah. Ia bagian dari Palestina merdeka.
Peluang Indonesia Jadi Mediator
W:
Anda dikenal lama mengamati politik Timur Tengah. Menurut Anda, apakah Indonesia benar-benar punya peluang menjadi mediator dalam konflik Gaza?
A:
Saya optimis. Indonesia punya modal moral yang besar. Kita bukan negara kolonial, kita tidak punya kepentingan minyak atau geopolitik yang membebani. Kita juga punya kedekatan historis dengan dunia Arab dan Islam, tapi sekaligus dihormati di Barat karena tradisi demokrasi dan moderasi beragama kita.
Jangan lupa, Indonesia pernah dipercaya memediasi konflik di Mindanao (Filipina Selatan) melalui peran tokoh-tokoh Islam Indonesia. Kita juga aktif di berbagai misi perdamaian PBB. Jadi, bukan mustahil Indonesia mendapat peran lebih di Gaza. Yang penting ada konsistensi diplomasi dan keberanian mengambil inisiatif, misalnya dengan mempertemukan Mesir, Yordania, Qatar, Turki, dan bahkan Iran serta Arab Saudi untuk duduk bersama.
Hambatan Hak Veto Amerika
W:
Kiai menyinggung hak veto Amerika. Jika AS terus mempertahankan sikap pro-Israel, apa harapan yang tersisa bagi Palestina?
A:
Sejarah menunjukkan, kekuatan moral suatu bangsa tidak bisa dipadamkan oleh veto negara besar. Afrika Selatan pernah mengalami apartheid, tapi akhirnya runtuh karena tekanan internasional dan solidaritas global. Palestina pun akan demikian. Veto Amerika memang menghambat resolusi formal, tapi tidak bisa menghentikan gelombang dukungan internasional.
Saya melihat perubahan mulai tampak di opini publik Barat sendiri. Banyak masyarakat sipil di Amerika dan Eropa mulai kritis terhadap kebijakan pemerintah mereka yang mendukung Israel secara buta. Nah, suara moral seperti yang disampaikan Presiden Prabowo di PBB ikut memperkuat gelombang ini.
Optimisme Masa Depan Palestina
W:
Jika bicara masa depan, apakah Anda optimis solusi dua negara akan benar-benar terwujud?
A:
Saya masih optimis, meskipun jalannya panjang dan penuh hambatan. Pada akhirnya, Israel juga tidak bisa hidup tenang dengan terus mengisolasi Gaza atau menekan Palestina. Perdamaian sejati hanya bisa lahir dari keadilan. Kalau tidak, kekerasan akan terus berulang.
Saya percaya suatu saat, melalui kombinasi tekanan internasional, kesadaran politik internal Israel, dan dukungan besar-besaran dunia terhadap Palestina, solusi dua negara bisa tercapai. Mungkin tidak dalam hitungan tahun, tapi arah sejarah bergerak ke sana.
Pesan untuk Indonesia
W:
Apa pesan Anda untuk Indonesia dalam momentum pasca pidato Prabowo di PBB ini?
A:
Pesan saya sederhana: jangan berhenti hanya pada pidato. Momentum ini harus ditindaklanjuti dengan diplomasi aktif. Pemerintah bisa membentuk tim khusus untuk isu Palestina, menggandeng tokoh agama, masyarakat sipil, dan ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah.
Indonesia juga bisa mendorong ASEAN untuk satu suara mendukung Palestina, lalu membawa suara itu ke forum-forum multilateral lain. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara yang bicara soal perdamaian, tapi juga benar-benar menggerakkan perdamaian.
Penutup
Wawancara dengan KH. As’ad Said Ali menunjukkan bagaimana pengalaman beliau di Timur Tengah memberi perspektif mendalam atas dinamika konflik Gaza. Baginya, pidato Presiden Prabowo di PBB adalah langkah tepat yang harus ditindaklanjuti. Dengan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia dan posisinya yang unik di dunia internasional, Indonesia punya peluang besar menjadi mediator yang mampu mendorong terwujudnya solusi dua negara dan perdamaian abadi di Palestina.