Pati – KH. As’ad Said Ali, menceritakan tentang perayaan Haul Kyai Haji Mbah Mutamakin, seorang penyebar Islam generasi pertama di Pati. Acara haul yang diadakan setiap bulan Assyura (Suro) di makam beliau di Desa Kajen, Margoyoso, Pati, berlangsung meriah dengan berbagai pentas budaya, termasuk marching drumband.
KH. As’ad mengenang bahwa saat berusia 6 hingga 18 tahun, ia selalu diajak orang tuanya menghadiri acara tersebut. Salah satu juru kunci makam adalah Kyai Baedlowi Sirajd dari Ponpes Salafiah, yang dipanggilnya Pak De karena istri Kyai Baedlowi adalah kakak dari ibunya, H. Asrofah.
Kenangan manis lainnya adalah ketika KH. As’ad diterima masuk SMAN I Kudus pada tahun 1965 tanpa melalui pendaftaran formal. Keberhasilan ini dicapai setelah berdoa di makam KH. Mbah Mutamakin. Pak Fathur Rahman, paman jauhnya, membantu menghubungi Kepala Sekolah SMA, Sutardi Wiryo Hasmoro, yang akhirnya menerima KH. As’ad sebagai murid baru karena nilai ujian SMP-nya yang bagus dan kurangnya siswa SMA dari kampungnya.

“Almarhum KH. Mbah Mutamakin dikenal sebagai penyebar Islam generasi pertama di Pati setelah belajar agama di Timur Tengah. Dakwah beliau di Desa Kajen menggunakan pendekatan budaya, menggabungkan agama dan budaya untuk mencapai kemaslahatan. Prinsip ini menjadi keunggulan Muslim Indonesia dalam menjaga persatuan dan toleransi di tengah keberagaman suku bangsa dan pulau di Indonesia.” ungkap mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), kepada awak media. 17/7/24.
Tiga bulan lalu, Sheikh Hisyam Najjar dari Universitas Al Azhar Mesir bertanya kepada KH. As’ad tentang penyebaran Syiah di Indonesia. Pertanyaan ini muncul karena agresivitas penyebaran Syiah dan Revolusi Iran sejak Khomeini merebut kekuasaan sekitar 30 tahun lalu. KH. As’ad menjawab bahwa mereka waspada tetapi tidak terlalu khawatir. Ulama-ulama terdahulu menggunakan budaya sebagai media dakwah penting, sehingga terjadi sinkronisasi antara agama dan adat.
Warga Nahdlatul Ulama (NU) bisa bersahabat dengan pemeluk Syiah dengan prinsip tetap berpegang pada Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan bekerja sama atas dasar budaya. Penyebaran Syiah yang eksklusif ditolak, seperti yang terjadi di Pamekasan sekitar 15 tahun lalu. Beberapa budaya Syiah yang tidak bertentangan dengan Aswaja, seperti syair dalam kasidah Barjanji dan bangunan cungkup di makam, bisa diakomodasi.
KH. As’ad menyimpulkan bahwa nilai budaya Indonesia merupakan kekuatan pemersatu dan penjinak unsur-unsur radikal dari berbagai agama. Meskipun semua agama pada dasarnya mengajarkan sikap moderat, unsur radikal dapat terserap oleh budaya toleran bangsa Indonesia. *Red 01*














































