Jakarya – KH. As’ad Said Ali mengatakan demokrasi kita saat ini merujuk pada Undang-undang amandemen 2002 dan bukan merujuk UUD 1945 asli. UUD 2002 memaknai demokrasi berdasarkan deklarasi HAM PBB yang berangkat dari semangat moral individualis dan sekularistik seperti tertulis dalam pasal 28 huruf A sampai huruf I. . Meskipun pasal 28 huruf Y mencantumkan pembatasan HAM ala Barat yang berbunyi “ negara berhak membatasi HAM seseorang jika hal itu melanggar HAM orang lain”. Namun hal itu tidak cukup karena abai terhadap hak kebersamaan dan atau komunalisme sebagai bangsa misalnya hak ulayat dan tradisi yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai bangsa.
Menurutnya, para pendiri bangsa telah meletakkan dasar berbangsa dan bernegara yakni Pancasila. Sila pertama “ Ketuhanan YME “ dan sila keempat berbunyi ; “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Dua sila itu menunjukkan kekhususan bahwa bangsa Indonesia menekankan aspek hikmah dalam berdemokrasi yang bersumber dari nilai nilai relijius dan budaya bangsa.
Pasal 28 UUD amandemen 2002 yang merupakan copy paste dari Deklarasi Ham PBB / Barat jelas tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila karena cenderung menekankan nilai individualis, sekuleristik dan materialistik sebagaimana disebutkan diatas. Hal ini secara substansial bertolak belakang dengan terma “ dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan” yang termaktub dalam sila keempat.
Hikmat permusyawaratan memiliki makna konseptual tentang permufakatan yang berlandaskan nilai- nilai kebijaksanaan, atau sesuatu yang hakiki, bukan hanya selaras dengan nilai agama tetapi juga sesuai dengan budaya bangsa.
Sebaliknya dewasa ini dalam praktek demokrasi kita justru ada kecenderungan menanggalkan aspek “ hikmah “ , yang memiliki kedalaman makna melampaui sekedar bermusyawarah, yaitu suatu demokrasi yang sesungguhnya berbeda dengan nilai demokrasi  Barat. Jadi tidak aneh jika praktek demokrasi kita saat ini dililit oleh persoalan persoalan yang membuahkan soal ketidak adilan sosial, korupsi, penguasaan ekonomi oleh segelintir orang, tuntutan pemberlakuan nilai nilai Barat seperti praktek kawin sejenis, penolakan undang – undang penodaan agama dan seterusnya.
“Karena itu ada baiknya kita merenungkan kembali praktek demokrasi kita agar tidak terjebak dalam kekacauan untuk menyongsong masa depan negeri ini sebagaimana cita cira proklamasi,” pungkas mantan Waka-BIN tersebut kepada awak media, Sabtu, 17/6/23. (Red 01)














































