Jakarta- Indonesia seakan tiada lelahnya mengalami konflik dan ketegangan terbuka dalam sejarah memptaktekkan demokrasi. Dari demokrasi parlementer kemudian diganti dengan demokrasi terpimipin oleh presiden Sukarno. Kemudian demokrasi Pancasila ala Presiden Suharto juga runtuh lalu pasca reformasi Indonesia mempraktekkan demokrasi liberal.
Pasca reformasi 1998 bangsa Indonesia benar-benar mengalami eforia politik yang luar biasa. Terjadi perubahan fundamental dalam konstitusi negara dengan empat kali amandemen undang-undang dasar 1945.
Disinilah dimulainya praktek demokrasi liberal yang tidak selaras dengan demokrasi pancasila yaitu sila ke empat.
Alasan penerapan demokrasi liberal hanya untuk menjamin tiga kebebasan yaitu : kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul.
Tetapi dampak dari praktek demokrasi liberal selama pasca reformasi sampai saat ini sangat luar biasa buruknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
“Akibat dari Amandemen UUD 1945 berubahlah susunan ketatanegaraan dan lembaga negara tinggi negara serta mengenahi tugas dan wewenangnya. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara tetapi hanya menjadi lembaga tinggi negara. Dan tidak lagi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sebagaimana dalam konstitusi yang asli. Struktur keanggotaan MPR diubah dan menggunakan sistem bikameral dalam pembuatan Undang-undang. Kekuasaan dibagi menjadi tujuh lembaga tinggi negara yaitu : MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA dan MK. Dengan demikian sudah tidak ada lagi lembaga negara yang superior.
Perubahan-perubahan tersebut secara langsung juga menghilangkan prinsip-prisip kekeluargaan dalam susunan kelembagaan negara. Hal itu juga tidak selaras dengan sila ke lima,” ungkap KH. As’ad Said Ali, dalam bukunya yang berjudul “Islam, Pancasila dan Kerukunan Berbangsa”, tepatnya pada halaman 102, Kamis, 23/5/24
Menurutnya, agar Indonesia terhindar dari jebakan demokrasi liberal, maka cara terbaik dalam membangun demokrasi adalah kembali ke dasar konstitusi yaitu sila ke empat dari pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”
Pembangunan demokrasi di Indonesia harus dikembalikan kepada ketentuan-ketentuan pokok di dalam grundnorm negara yaitu Pancasila. Di dalam Pancasila terdapat sila ke empat yang jelas merujuk pada prinsip-prinsip bangunan demokrasi Pancasila ala Indonesia.
Di dalam sila ke empat tersebut terdapat kata “kerakyatan”, yang bisa ditafsirkan sebagai bentuk negara Republik, dan di dalam negara Republik harus ada sistem demokrasi yang bekerja. Sementara demokrasi perwakilan dirujuk dari kata “permusyawaatan/perwakilan” . Dari sila ke empat inilah kemudian diturunkan dalam sejumlah bab dan pasal di dalam UUD 1945 yang membentuk keseluruhan tatanan demokrasi dalam sistem pemerintahan negara.
“Rupanya para pendiri bangsa punya pemikiran yang jernih tentang demokrasi. Menurut mereka dalam demokrasi sisi permusyawaratan sangatlah penting, maka Indonesia sudah semestinya mempraktekkan demokrasi Pancasila. Tetapi untuk mempraktekkan demokrasi Pancasila harus dilakukan amandemen ke lima UUD 1945,” tegas mantan Waka-BIN itu. (Red 01)














































