Oleh: Ismawati, S.Pd
Guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ma’arif 02 Salebu Kec. Majenang Kab. Cilacap
Pendidikan merupakan wahana strategis dalam membentuk kepribadian, karakter, dan spiritualitas peserta didik. Dalam konteks pendidikan Islam, khususnya di Madrasah Ibtidaiyah (MI), mata pelajaran Al-Qur’an Hadis memegang peranan sentral sebagai fondasi utama dalam menanamkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, serta kecintaan terhadap ajaran Islam. Namun, pembelajaran Al-Qur’an Hadis sering kali terjebak dalam pendekatan kognitif yang bersifat normatif dan mekanistik semata — sebatas menghafal ayat dan hadis tanpa internalisasi makna yang mendalam. Di sinilah urgensi pendekatan baru muncul, yakni konsep Kurikulum Cinta, yang menempatkan nilai kasih sayang, keteladanan, dan ketulusan sebagai basis utama dalam proses pendidikan agama.
Kurikulum Cinta bukan sekadar pendekatan emosional, tetapi merupakan paradigma pendidikan yang menekankan hubungan manusiawi antara guru dan siswa, diwarnai oleh rasa cinta terhadap Allah, Rasul-Nya, kitab suci-Nya, serta sesama manusia. Dalam konteks pembelajaran Al-Qur’an Hadis, kurikulum ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai ilahiyah secara menyentuh dan transformatif, sehingga anak-anak tidak hanya menguasai isi ayat dan hadis, tetapi juga merasakannya secara spiritual, menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari, dan terdorong untuk mencintai agamanya dari dalam hati.
Namun, penerapan Kurikulum Cinta di lingkungan Madrasah Ibtidaiyah tidak lepas dari tantangan dan hambatan yang kompleks. Secara struktural, kurikulum pendidikan nasional yang kaku dan berorientasi pada capaian akademik sering kali menjadi penghalang bagi model pembelajaran yang holistik dan afektif. Di sisi lain, kompetensi pendidik dalam memahami dan menerapkan pendekatan berbasis cinta juga masih terbatas, ditambah dengan realitas dunia pendidikan yang sarat beban administratif dan target-target formal. Tantangan lainnya datang dari kurangnya bahan ajar dan metode yang mampu menjembatani antara aspek kognitif, afektif, dan spiritual secara seimbang.
Lebih jauh lagi, tantangan psikososial peserta didik yang semakin kompleks di era digital turut memengaruhi efektivitas pembelajaran nilai. Anak-anak masa kini cenderung memiliki rentang perhatian yang pendek dan lebih terbiasa dengan stimulasi instan daripada refleksi mendalam. Dalam kondisi ini, pembelajaran agama yang tidak disampaikan dengan pendekatan penuh cinta dan keteladanan akan kehilangan daya tarik dan makna. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menelaah bagaimana Kurikulum Cinta dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis di MI, serta apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi, baik dari aspek sistemik, pedagogis, maupun kultural.
Kurikulum Cinta: Sebuah Konsep Pendidikan Spiritual Humanis
Kurikulum cinta merupakan pendekatan pembelajaran yang berangkat dari nilai-nilai spiritual dan humanis. Dalam konteks Islam, cinta merupakan inti dari hubungan manusia dengan Allah (maḥabbah), Rasulullah SAW, dan sesama manusia. Cinta di sini bukan sekadar emosi, tetapi energi transformatif yang membentuk kesadaran, motivasi, dan tindakan yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah.
Dalam pembelajaran Al-Qur’an Hadis, Kurikulum Cinta mengarahkan guru untuk menjadi teladan kasih sayang (uswah hasanah), menciptakan suasana belajar yang ramah, menyenangkan, dan penuh makna. Peserta didik tidak hanya diajak membaca dan menghafal, tetapi juga merasakan, memahami, dan menginternalisasi pesan-pesan kasih dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tujuannya adalah melahirkan peserta didik yang mencintai Al-Qur’an dan Rasulullah, bukan karena kewajiban, tetapi karena kesadaran dan kedekatan spiritual.
Tantangan dan Hambatan dalam Implementasi Kurikulum Cinta
Meskipun Kurikulum Cinta menjanjikan pendekatan pembelajaran yang lebih menyentuh dan mendalam, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penerapannya menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
- Keterbatasan Kompetensi Guru
Banyak guru di MI yang belum sepenuhnya memahami atau menguasai pendekatan pembelajaran berbasis cinta. Sebagian besar masih terjebak dalam metode tradisional seperti ceramah, hafalan, dan evaluasi kognitif, tanpa membangun relasi emosional dan spiritual dengan siswa.
- Kurikulum yang Kaku dan Padat
Kurikulum nasional sering kali bersifat target-oriented dengan tekanan pada capaian akademik, sehingga menyulitkan guru untuk menerapkan pendekatan yang fleksibel dan humanistik. Waktu yang terbatas dan tuntutan administrasi membuat guru cenderung memilih metode yang cepat dan mudah diukur.
- Minimnya Sumber Daya dan Media Pembelajaran
Kurikulum Cinta membutuhkan media pembelajaran yang kreatif dan kontekstual, seperti cerita inspiratif, kegiatan reflektif, dan pendekatan visual atau seni. Namun, di banyak MI, ketersediaan bahan ajar dan media seperti ini masih sangat terbatas.
- Karakteristik Peserta Didik yang Beragam
Anak-anak usia MI memiliki karakter dan latar belakang yang sangat beragam. Beberapa mungkin sudah terbiasa dengan lingkungan yang penuh kasih, sementara yang lain justru datang dari latar yang kurang harmonis, sehingga lebih sulit untuk merespons pendekatan berbasis cinta jika tidak dilakukan secara konsisten dan tepat.
- Kurangnya Dukungan Kultural dan Lingkungan
Lingkungan sekolah dan masyarakat sering kali belum mendukung iklim pendidikan yang penuh cinta. Kekerasan verbal, hukuman fisik, atau pola komunikasi otoriter masih banyak ditemukan, bahkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hal ini tentu menghambat terciptanya ruang belajar yang aman secara emosional dan spiritual.
Strategi Menghadirkan Kurikulum Cinta
Untuk menghadapi tantangan-tantangan di atas, dibutuhkan berbagai strategi sistemik dan praktis, antara lain:
Pelatihan Guru secara Holistik: Guru perlu dibekali pemahaman mendalam tentang psikologi anak, pendidikan spiritual, dan metode pembelajaran afektif yang relevan dengan Kurikulum Cinta.
Revitalisasi Kurikulum: Perlu ada ruang fleksibel dalam kurikulum untuk muatan afektif dan spiritual, yang tidak semata-mata dinilai dari segi kognitif.
Penyediaan Bahan Ajar Kontekstual: Buku dan media pembelajaran perlu dikembangkan dengan pendekatan yang ramah anak dan menyentuh sisi emosional, misalnya melalui kisah teladan, film pendek islami, atau kegiatan praktik kasih sayang.
Kolaborasi dengan Orang Tua dan Masyarakat: Pembelajaran cinta tidak cukup hanya di ruang kelas. Perlu keterlibatan aktif orang tua dan komunitas untuk menciptakan budaya kasih sayang yang konsisten.













































