JAKARTA, – Udara pagi yang sejuk dan langit biru cerah menjadi latar sempurna bagi Asad Said Ali,seorang warga Kudus, untuk memulai harinya dengan cara yang tak biasa: menyeruput kopi hitam panas sambil menikmati cerutu Cohiba No. 2 di halaman rumahnya. Kebiasaan ini telah ia jalani selama lebih dari 20 tahun.
“Pagi ini tenang sekali, langit bersih, dan daun-daun belum bergerak karena angin belum mau menari,” ujarnya sambil mengisap cerutu. Momen ini ia anggap sebagai waktu terbaik untuk merenung dan menikmati hidup dalam kesederhanaan.
Asad bukan perokok biasa. Ia memulai kebiasaan merokok sejak duduk di bangku SMP. Sebagai putra asli Kudus—kota yang dikenal sebagai pusat industri rokok kretek di Indonesia—merokok telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi keluarga.
Ayahnya, H. Nor Said Ali, kala itu kerap mendapatkan pasokan rokok secara cuma-cuma dari keluarga sendiri yang merupakan pemilik usaha rokok “Jamboe Bol”, H. Ma’ruf (alm), yang masih berkerabat dekat. “Waktu itu rokok bukan sekadar gaya hidup, tapi juga erat dengan hubungan keluarga dan sosial,” kenang Asad.
Kini, meskipun telah berpindah ke cerutu impor, ia tetap menganggap setiap hisapan sebagai bentuk penghormatan terhadap masa lalu. “Cerutu memang berbeda dari kretek, tapi nilai kenangan yang terselip dalam asapnya tetap sama.”
“Kebiasaan ini, menurutnya, bukan ajakan untuk merokok, tetapi lebih pada refleksi tentang bagaimana tradisi dan sejarah pribadi membentuk seseorang,”imbuhnya. Senin (5/5/25).
(*)















































