Jakarta – Serbuan Hamas ( حركة المقومة الاسلامية / Gerakan Kebangkitan Islam ) sejak 7 Oktober dari Gaza ke wilayah pendudukan di Tepi Barat S Yordan, mengejutkan Israel. Serangan dengan menggunakan roket buatan dan bantuan Iran tersebut untuk pertama kalinya berhasil menembus “ Iron Dome “ atau perisai besi, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa dipihak Israel dan menjadi pukulan psikologis – politis besar bagi pemerintah Israel didalam maupun luar negeri.
“Namun Israel kemudian melakukan serangan balasan udara, artileri dan darat ke Gaza yang menimbulkan korban cukup besar, selain jiwa, juga hancurnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat termasuk rumah sakit. Salah satu bangunan yang hancur adalah Rumah Sakit yang dikelola oleh “ Gereja Ortodox “, sehingga menimbulkan reaksi keras dari dunia internasional yang menganggap sebagai kejahatan perang,” jelas mantan Waka-BIN tersebut kepada awak media, Minggu, 22/10/23.
Dia melanjutkan, Menjadi pertanyaan penting adalah : bagaimana dampak perang tersebut terhadap masa depan otoritas Palestina terkait persengketaan Hamas ( dpp Ismail Haniya ) dengan Al Fatah yang dipimpin Mahmud Abas ? Dan bagaimana kelanjutan proses perdamian Palestina – Israel yang terhenti sebagai akibat kebijakan AS dibawah Presiden Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel ?
Pada sisi lain 8 negara Arab / Islam telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel yaitu : Mesir, Yordania, Turkey, Marokko, Sudan, Emirad Arab, Bahrain, Oman dan segera menyusul Arab Saudi. Selain merupakan sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel juga merupakan kekuatan nuklir ( di Dimona, dekat Berseba )dan sekali gus sebagai front terdepan AS dalam menghadapi Iran.
Sebaliknya , Iran yang merupakan seteru strategis AS / Israel juga sedang mempersiapkan diri sebagai kekuatan nuklir.Bersama Iran, Syria menancapkan pengaruh politik dan militer di Libanon sejak 1985 hingga saat ini. Para- militer Hisbullah yang menguasai Libanon Selatan merupakan ujung tombak Iran dan Syria dalam menghadapi Israel.
Pasukan Hizbullah yang berbasis di kota Bint Jbail terletak perbatasan Israel – Libanon merupakan basis militer yang belum bisa ditembus oleh Israel. Sejauh ini , Iran menahan diri untuk melibatkan Hisbullah guna membantu Hamas, kecuali manuver militer ringan.
Secara militer, Israel memenangkan pertempuran, tetapi secara politik pemerintah Israel mengalami kekalahan. Didalam negeri, pemerintah Israel dianggap lalai dalam melindungi keamanan rakyatnya. Dikancah internasional, Israel memperoleh image negatif karena melanggar hukum perang internasional, sehingga harus segera memperbaiki citranya agar proses normalisasi hubungan dengan negara Arab bisa terus berlanjut.
Dua alasan itu akan memaksa Israel untuk memperbaiki komunikasi politik dengan otoritas Palestina dibawah Presiden Mahmud Abbas yang juga sebagai Ketua Al Fatah . Pada sisi lain, Israel perlu mencari “way out” , guna mencegah serangan mematikan Hamas tidak terulang lagi. Salah satu alternatifnya adalah memperbaiki perlakuan terhadap penduduk Palestina di tepi Sungai Yordan dan Gaza. Artinya , Israel perlu mulai merintis kembali hubungan dengan Al Fatah yang dipimpin Mahmud Abbas dan Hamas yang dipimpin Islmail Haniya.
Langkah tersebut tidak mudah dilakukan mengingat perbedaan sikap politik antar partai-partai di Israel yang tajam. Satu pihak bersikap keras terhadap Palestina , pada sisi lain bersikap lebih lunak. Jadi, terulangnya perang brutal antara Israel dengan Hamas bukan suatu hal yang tidak mungkin. BISAKAH INDONESIA PUNYA PERAN DALAM PERDAMAIAN DISANA ? (Red 01)














































