Jakarta – KH. As’ad Said Ali mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan yang dinanti nantikan oleh sebagian besar kaum muslimin di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Di kawasan Timur Tengah, masyarakat menyambut dengan ungkapan khas ; اهلا و سهلا يا مضان كريم (Selamat datang bulan ramadhan yang mulia).
Kalai di Kudus, kota kelahirannya, bulan puasa Ramadhan disambut dengan tradisi keramaian masa di kawasan masjid Al Aqsha (Menara Kudus) dengan menunggu pemukulan bedug masjid untuk menandai awal puasa.
Setiap bangsa tentu saja menyambut Ramadhan sesuai dengan budaya dan tradisi masing-masing.
Bapak KH. As’ad mengajarkannya sejak kecil pentingnya puasa, bukan hanya puasa ramadhan yang merupakan kewajiban, tetapi juga puasa Senin – Kamis atau puasa Sunnah. Katanya ; kalau suka berpuasa akan menjadi anak pinter dan kelak menjadi orang yang dihormati di masyarakat. Dan bahkan bapaknya memberi contoh, meskipun pergi kesawah menunggui para pekerja ditengah terik matahari, bapaknya tetap puasa wajib.
“Saya perhatikan bapak dan ibu sering berpuasa Senin-Kamis. Saya masih ingat nasehat beliau bahwa puasa melatih orang untuk berpikir dan bertindak dengan pikiran jernih-bukan dituntun oleh pikiran kotor yang dikendalikan oleh perut. Nasehat itu saya cerna sejak kelas 2 SR / SD. Ceritanya, teman sebangku saya berlari keluar dari kelas ketika mendengar teriakan penjual es lilin, untuk membeli es, mengabaikan bu Guru yang berusaha mencegah,” jelas mantan Waka-BIN itu seperti yang ditulis di medsosnya, Sabtu 9/3/24.
Sesampainya dirumah, dia ceritakan kejadian itu kepada orang tuanya. Jawaban orang tuanya sampai sekarang masih menjadi “ pegangan hidupnya “. Apa kata kedua orang tuanya tersebut ; “teman kamu lari keluar kelas karena dia tidak berpikir dengan otak di kepalanya, tetapi otaknya dikalahkan oleh hati yang berada di badan atau di perutnya. Dengan kata lain pikirannya dikendalikan oleh nafsu ( minum Es ) @yang bercokol di hatinya”.
“Setelah saya bergabung di PB NU , pak KH Hasyim Muzadi ( alm ) memberi saya kitab “ Sarah kitab Al Hikam “. Didalam kitab itu Ibnu Athailah menjelaskan perihal “ nuktah hitam “ yang menempel di dalam hati manusia yang sering membuat banyak tergelincir dalam hidupnya,” jelasnya.
“Al hamdulillah”, ucapnya. Di saat menduduki posisi eselon I selama 12 tahun, di institusi dia mengabdi kurang lebih 36 tahun keimanan tidak goyah dari godaan nafsu korup. Sebaliknya jiwa sosialnya tumbuh dan dia berusaha untuk bisa berbagi. Tentu setelah pensiun kondisi keuangannya menurun.
Menurutnya, puasa juga mampu menumbuhkan semangat atau jiwa sosial khususnya memelihara hubungan baik dengan tetangga tanpa memandang perbedaan suku bangsa dan agama. Dengan demikian jiwa sosial yang tumbuh dari keimanan, puasa menjadi fondasi dalam membangun persaudaraan sesama iman dan persaudaraan dalam konteks kebangsaan. “Selamat Berpuasa”, saranya. (Red 01)














































